Sasando sendiri sudah kita ketahui, adalah sejenis alat musik petik
dengan ruang resonator dari haik (anyaman dari daun lontar) yang sudah
terkenal di kalangan masyarakat NTT.
Memang alat musik ini boleh dikatakan unik, karena merupakan salah
satu instrument musik petik dengan keunikan ada pada bentuk, cara
memainkannya dan juga bahan pembuatannya.
Alat musik ini cukup terkenal belakangan ini di tengah-tengah
masyarakat, apalagi setelah Berto Pah menampilkannya di IMB ( Indonesia
Mencari Bakat),namun pertanyaannya, apakah semua masyarakat NTT mengenal
sasando, ataukah semua masyarakat bisa memainkannya. Ataukah jangan
sampai suatu saat alat musik ini punah dan masyarakat NTT harus
‘berguru’ lagi ke daerah lain untuk memainkan sasando yang sebenarnya?.
Sejarah atau asal-usul sasando ini, kita semua hanya peroleh dari
cerita-cerita secara turun-temurun yang sudah diwariskan secara lisan
maupun tulisan, namun yang pasti alat musik ini terdiri dari dua jenis,
yaitu sasando gong dan sasando biola.
Perkembangan alat musik ini berjalan terus seiring dengan perkembangan
zaman, terjadi pula modifikasi bentuk serta kualitas bunyi dengan
pergantian dawai. fifik diganti dengan tulangan daun lontar, kulit bambu
berganti senar kawat, senar tunggal diganti dawai rangkap, akustik
berkembang pula ke elektronik, sasando gong berkembang ke sasando biola.
Menjadi kebanggan tentu bagi orang Rote dan juga NTT umumnya akan
bentuk dan keindahan, bunyi dari sasando yang telah mengalami
modifikasi, namun dipihak lain pemain sasando semakin hari semakin
berkurang. Tentu menjadi sebuah pertanyaan yang muncul, mengapa
pelestarian sasando menjadi menurun atau mengalami hambatan? bahkan
sekarang ini pemain sasando biola pun tinggal sedkit saja. Bahkan secara
umum jumlah pemain sasando tidak lebih dari 20 orang.
Menyadari akan hal itu, masyarakat NTT umumnya perlu memasyarakatkan
dan melestarikan alat musik ini sehingga kekayaan seni budaya dapat
dikembangkan serta dipertahankan. keterlibatan semua elemen masyarakat
sangat diperlukan dalam melestarikan dan mengembangkan alat musik
ini.(yel)
Sasando atau Sasandu?
Salah satu faktor yang mempengaruhi lahirnya kebudayaan suatu daerah
adalah struktur dan kondisi alam dari daerah itu. Hal ini juga tampak
yang terjadi pada kebudayaan orang Rote tempat asal alat musik sasando.
Keberadaan tanaman lontar di Pulau Rote cukup memberi arti bagi NTT
karena dari pohon itu, ide membuat sasando muncul, karena itu pohon
lontar sendiri sebagai peletak dasar kebudayaan masyarakat.
Masyarakat Rote sendiri tidak memanfaatkan tanaman ini sebagai sumber
kehidupan, yaitu sebagai penghasil tuak, sopi (minuman tradisional),
gula lempeng,gula air, gula semut, tikar, haik, sandal, topi atap rumah
maupun bahan bangunan, tetapi lebih dari itu, masyarakat sudah
menganggap tanaman ini memiliki nilai lebih karena sudah menginspirasi
lahirnya alat musik sasando. Sampai sekarang daun pohon lontar ini masih
tetap dipertahankan sebagai resonator alat musik ini.
Yusak Meok, salah satu pemateri pada seminar Musik Sasando di Hotel
Kristal, Kamis (17/12/2009) lalu, mengatakan, Sasando yang seharusnya
bernama sasandu (bunyi yang dihasilkan dari getar), lahir dari inspirasi
penemunya dari hasil interaksi dengan alam.
Menurut Meok, ada berbagai fersi mengenai sejarah tentang alat musik
ini, diantaranya, alat musik ini konon ada seorang pemuda bernama
Sangguana pada tahun 1650-an terdampar di Pulau Ndana, Sangguana
memiliki bakat seni, sehingga penduduk membawanya ke istana, kemudian
putri istana terpikat dan meminta Sangguana menciptakan alat musik.
Sangguana pun bermimpi pada suatu malam sedang memainkan alat musik yang
ciptakannya, kemudian diberi nama sandu (bergetar).
“Ada jua cerita lain, alat musik ini ditemukan oleh dua penggembala
yang bernama Lumbilang dan Balialang, ada juga cerita lain, sasandu ini
ditemukan oleh dua sahabat yakni Lunggi Lain dan Balok Ama Sina,” papar
Meok.
Karena alat musik yang telah dipasang dalam haik itu beresonasi, maka
disebut sandu atau sanu yang mempunyai arti bergetar atau getaran. Alat
ini kemudian disebut sebagai sasandu yang berasal dari kata berulang
sandu-sandu atau bergetar berulang-ulang.
Dengan perkembangan yang terjadi, maka sasandu ini lebih dilafalkan
menjadi sasando, sehingga terbawa sampai saat ini, namun ucapan ini
tidak merubah bentuk dan suara dari alat musik ini.
Sementara itu Petrus Riki Tukan, pemateri lainnya mengatakan, alat
musik sasando merupakan sebuah fenomena budaya pada umumnya dan kesenian
(musik) khususnya yang cukup menggoda naluri seniman.
(Sumber: Pos Kupang)