Monday, July 22, 2013

How to be a profesional Sasando Player?

©2013 Nat Arch Design

Sasando Shop Sale:
Electric Sasando 45 Strings (without stand) IDR 4.250.000,-
Electric Sasando 45 Strings (with stand) IDR 5.000.000,-
Electric Sasando 32 Strings IDR 4.000.000,-
Sasandu (Sasando Gong) IDR 800.000,-
Sasando 24 Strings (Non Electric) IDR 900.000,-
Sasando 45 Strings (Non Electric) IDR 2.800.000,-
Sasando for gift & collection (Height 50-60 cm) IDR 300.000,-
Miniature Sasando (Height 12-15 cm) IDR 50.000,-

History of Tiilangga (Sasando Hat)

Tiilangga is a traditional hat from Rote Island, the smallest island in East Nusa Tenggara Province. Circular shaped with a small horn stand upright on it. This horn is also often referred as the antenna.
Tiilangga made ​​of palm leaves, including the antenna, which has nine levels. Although only a cap but the philosophy behind the design is very deep and interesting. The nine antennas sticking grooves on nine strata interpreted as the government in power at that time.


On Rote island, that famous with palm trees, strata starting from their usual social groups that symbolized as the smallest indentation at the top of antenna. While the king or head of government symbolized the larger indentation, whose position at the bottom of the antenna.

Circular indentation symbolize their support for any policy or regulations issued by the king or the ruling government. This was confirmed by the antenna upright form, as a symbol of leadership.

Such caps generally, the meaning of this traditional hat is the same as a head covering for men from Rote Island. Tiilangga also believed to be able to change their appearance to be more manly. From the beginning until now, Tiilangga still worn by men from all walks of life.

When they attend traditional events, attending events at government offices, performing dance at the ceremony,
go into the garden or field, plays Sasando, they always use Tiilangga in their head.

Sejarah Tiilangga (Topi Sasando)

Tiilangga adalah topi tradisional ini berasal dari Pulau Rote, pulau terkecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berbentuk melingkar dengan sebuah tanduk kecil berdiri tegak di atasnya. Tanduk ini sering disebut pula dengan istilah antena. 
Tiilangga terbuat dari daun lontar, termasuk antenanya yang mempunyai sembilan tingkat. Walaupun hanya sebuah topi tetapi ada filosofi dibalik rancangannya teramat dalam dan menarik. Kesembilan lekukan pada antena yang menancap diartikan sebagai sembilan strata dalam pemerintahan yang berkuasa saat itu. 


Di pulau yang terkenal akan budidaya lontar tersebut, strata dimulai dari golongan masyarakat biasa yang mereka lambangkan sebagai lekukan terkecil di paling atas. Sementara raja atau kepala pemerintahan yang disimbolkan pada lekukan yang lebih besar, yang posisinya di bagian dasar topi.


Lekukan melingkar menyimbolkan dukungan mereka terhadap segala kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan raja atau pemerintah yang berkuasa. Ini pun ditegaskan dengan bentuk antena yang tegak, sebagai simbol kepemimpinan.


Seperti topi umumnya, makna dari topi tradisional ini adalah sama yaitu sebagai penutup kepala bagi lelaki dari Pulau Rote. Tiilangga juga diyakini mampu mengubah tampilan mereka menjadi lebih gagah. Sejak dulu sampai sekarang, Tiilangga tetap dikenakan oleh para lelaki dari semua kalangan. 


Saat mereka menghadiri acara adat, menghadiri acara di kantor pemerintahan, tampil menari di upacara, Tiilangga menempel di kepala termasuk saat mereka hendak pergi ke kebun atau sawah.
Tiilangga merupakan kelengkapan yang dipakai saat memainkan Sasando. Kebanggaan dan kegagahan seorang laki-laki akan terlihat saat dia memainkan iringan musik Sasando dengan berpakaian adat rote dan memakai Tiilangga.