Monday, July 22, 2013

Sejarah Tiilangga (Topi Sasando)

Tiilangga adalah topi tradisional ini berasal dari Pulau Rote, pulau terkecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berbentuk melingkar dengan sebuah tanduk kecil berdiri tegak di atasnya. Tanduk ini sering disebut pula dengan istilah antena. 
Tiilangga terbuat dari daun lontar, termasuk antenanya yang mempunyai sembilan tingkat. Walaupun hanya sebuah topi tetapi ada filosofi dibalik rancangannya teramat dalam dan menarik. Kesembilan lekukan pada antena yang menancap diartikan sebagai sembilan strata dalam pemerintahan yang berkuasa saat itu. 


Di pulau yang terkenal akan budidaya lontar tersebut, strata dimulai dari golongan masyarakat biasa yang mereka lambangkan sebagai lekukan terkecil di paling atas. Sementara raja atau kepala pemerintahan yang disimbolkan pada lekukan yang lebih besar, yang posisinya di bagian dasar topi.


Lekukan melingkar menyimbolkan dukungan mereka terhadap segala kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan raja atau pemerintah yang berkuasa. Ini pun ditegaskan dengan bentuk antena yang tegak, sebagai simbol kepemimpinan.


Seperti topi umumnya, makna dari topi tradisional ini adalah sama yaitu sebagai penutup kepala bagi lelaki dari Pulau Rote. Tiilangga juga diyakini mampu mengubah tampilan mereka menjadi lebih gagah. Sejak dulu sampai sekarang, Tiilangga tetap dikenakan oleh para lelaki dari semua kalangan. 


Saat mereka menghadiri acara adat, menghadiri acara di kantor pemerintahan, tampil menari di upacara, Tiilangga menempel di kepala termasuk saat mereka hendak pergi ke kebun atau sawah.
Tiilangga merupakan kelengkapan yang dipakai saat memainkan Sasando. Kebanggaan dan kegagahan seorang laki-laki akan terlihat saat dia memainkan iringan musik Sasando dengan berpakaian adat rote dan memakai Tiilangga.

No comments:

Post a Comment