Tiilangga adalah topi tradisional ini
berasal dari Pulau Rote, pulau terkecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Berbentuk melingkar dengan sebuah tanduk kecil berdiri tegak di
atasnya. Tanduk ini sering disebut pula dengan istilah antena.
Tiilangga terbuat dari daun lontar, termasuk antenanya yang mempunyai
sembilan tingkat. Walaupun hanya sebuah topi tetapi ada filosofi dibalik
rancangannya teramat dalam dan menarik. Kesembilan lekukan pada antena
yang menancap diartikan sebagai sembilan strata dalam pemerintahan yang
berkuasa saat itu.
Di pulau yang terkenal akan budidaya lontar tersebut, strata dimulai
dari golongan masyarakat biasa yang mereka lambangkan sebagai lekukan
terkecil di paling atas. Sementara raja atau kepala pemerintahan yang
disimbolkan pada lekukan yang lebih besar, yang posisinya di bagian
dasar topi.
Lekukan melingkar menyimbolkan dukungan mereka terhadap segala kebijakan
atau peraturan yang dikeluarkan raja atau pemerintah yang berkuasa. Ini
pun ditegaskan dengan bentuk antena yang tegak, sebagai simbol
kepemimpinan.
Seperti topi umumnya, makna dari topi tradisional ini adalah sama yaitu
sebagai penutup kepala bagi lelaki dari Pulau Rote. Tiilangga juga
diyakini mampu mengubah tampilan mereka menjadi lebih gagah. Sejak dulu
sampai sekarang, Tiilangga tetap dikenakan oleh para lelaki dari semua
kalangan.
Saat mereka menghadiri acara adat, menghadiri acara di kantor
pemerintahan, tampil menari di upacara, Tiilangga menempel di kepala
termasuk saat mereka hendak pergi ke kebun atau sawah.
Tiilangga merupakan kelengkapan yang dipakai saat memainkan Sasando. Kebanggaan dan kegagahan seorang laki-laki akan terlihat saat dia memainkan iringan musik Sasando dengan berpakaian adat rote dan memakai Tiilangga.
No comments:
Post a Comment